Kampar,- Berdasarkan peta indikastif KLHK bahwa lahan sawit kelompok Tani “Garo Sebanga Sentosa” diduga berada dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dan tidak terdaftar pada SK Keterlanjuran (Datin).
Lahan sawit kelompok Tani Garo Sebanga Sentosa seluas 225 hektar disinyalir milik perorangan/bohir perkebunan dijadikan mitra binaan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini terlihat pada plang didepan kebun tersbut, sangat disayangkan sekelas Apkasindo tidak mengerti tentang kawasan hutan atau terkesan membeking kebun tersbut.
Sesuai dengan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.
Hal ini disampaikan oleh Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021 di Polda Riau beberapa waktu lalu.
Turut hadir dalam kegiatan itu yakni Kapolda Riau, seluruh Polres, swasta, anggota DPD RI dan para pihak terkait lainnya.
”Dalam UUCK tidak ada pemutihan dan pengampunan, kita sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UUCK di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi.
Seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan,” jelas Bambang yang dikutip dari media lain.
Ketua tim Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Implementasi (Satlakwasdal) UUCK ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif. Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja.
Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut ”Mereka ini nanti akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK.
Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,” tegas Bambang lagi.
”Menata regulasi ini dan implementasinya jelas tidak mudah. Kami bekerja dengan supervisi bersama KPK, BPK, DPR dan publik. Tidak kerja sembarangan, tapi memegang regulasi,” kata Bambang.
Implementasi UUCK bukan hanya kerja KLHK, namun kerja kolaborasi multipihak agar kesalahan masa lalu tidak terulang dalam hal legalitas lahan. Tujuannya agar kawasan hutan tetap terjaga dan rakyat sejahtera.
Sementara itu Kapolda Riau, M.Iqbal menyambut baik sosialisasi implementasi UUCK yang baru pertama kali digelar untuk jajaran Polda se Indonesia. Harapannya seluruh jajaran Polda Riau bersama masyarakat ikut aktif mengawal implementasi UUCK.
”Seluruh jajaran Polda Riau, arahan saya untuk segera konsolidasi melakukan penguatan tindaklanjut dari sosialisasi ini. Dengan Forkompimda, stakeholders, dan masyarakat, tentang upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan penyelesaian kasus di tingkat tapak,” kata Iqbal.
Bukan hanya represif, yang paling penting prefentif. Pencegahan lebih penting agar tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di kawasan hutan.
”Semua Kapolres harus segera identifikasi dan selesaikan potensi-potensi konflik di wilayahnya. Terutama penyelesaian konflik yang terkait hutan, perkebunan, dll. Saya akan kawal ini langsung, 3 bulan ke depan harus ada inisiasi baru dan harus terlihat hasilnya,” perintah Iqbal.
Terkait dengan lahan Kelompok Tani Garo Sebanga Sentosa ini merupakan pelanggaran dan wajib untuk ditindak tegas. Lahan sawit yang berada dalam kawasana hutan ini perlu di tindak sesuai perundangan undangan yang berlaku.
Senada yang disampaikan oleh ketua LSM Bara Api Riau Jasril, bahwa setiap pengusaha atau kelompok masyarakat yang telah menyalahi. (LSM Bara Api)