PEKANBARU — Di tengah berkembang nya UMKM keripik singkong di Kota Pekanbaru, usaha keripik Mak CW justru menuai sorotan tajam dari masyarakat sekitar. Meski dikenal memiliki 18 varian keripik singkong dengan kualitas yang diklaim renyah, tidak terlalu berminyak, dan menggunakan bahan pilihan, usaha rumahan ini diduga kuat mencemari lingkungan di kawasan tempat produksi. Sabtu 22 November 2025.
Pemilik usaha, Indiana Sunita, melalui suaminya Budi, mengakui secara terang-terangan bahwa usaha tersebut belum memiliki izin lingkungan, yang semestinya menjadi kewajiban sebelum beroperasi dan menghasilkan limbah.
Menurut penuturan warga sekitar, limbah cair dari proses produksi kerupuk kulit patin dan ayam—yang baru dijalankan sekitar satu tahun terakhir—mengalir ke parit belakang rumah warga. Meski pihak usaha mengklaim rutin membersihkan aliran air setiap pagi, kenyataannya hanya beberapa meter dari lokasi produksi yang dibersihkan. Sepanjang aliran parit lainnya justru dipenuhi tumpukan lemak, minyak, dan menimbulkan bau busuk.
Yang paling memprihatinkan, pada bagian ujung aliran parit tersebut terlihat penumpukan lemak dalam jumlah besar dengan aroma menyengat yang sangat mengganggu kenyamanan warga. Kondisi ini diduga kuat berasal dari limbah olahan kulit patin dan ayam milik Mak CW.
Pihak Mak CW sempat menunjukkan hasil laboratorium yang disebut-sebut menyatakan limbah tersebut tidak mencemari lingkungan. Namun kondisi di lapangan justru bertolak belakang. Warga melihat sendiri warna air yang keruh, tumpukan lemak tebal, serta bau menyengat yang sangat mengganggu.
“Membersihkan iya, tapi hanya di belakang tempat usahanya. Setelah itu dibiarkan saja. Bau sangat mengganggu, apalagi saat angin kencang,” keluh salah satu warga.
Praktik pembuangan limbah langsung ke parit jelas tidak memenuhi standar pengelolaan lingkungan. Padahal, untuk usaha makanan skala UMKM, pemerintah mewajibkan minimal memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) sederhana untuk mencegah pencemaran.
IPAL sederhana yang seharusnya diterapkan meliputi:
– Bak pengendapan lemak dan padatan, untuk memisahkan sisa lemak kulit patin dan ayam.
– Filter pasir dan kerikil, guna menyaring partikel halus dan mengurangi kekeruhan.
– Pengolahan biologis dengan tanaman air seperti kiambang atau eceng gondok, yang membantu menyerap sisa organik dan menetralkan bau.
Tanpa proses ini, limbah mengalir langsung ke parit dan mencemari lingkungan, sebagaimana yang dikeluhkan warga.
Alih-alih sudah lengkap, pemilik usaha justru mengakui bahwa izin lingkungan masih dalam proses pengurusan. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan bahwa aktivitas usaha berlangsung tanpa memenuhi ketentuan dasar mengenai pengelolaan limbah.
Warga berharap pemerintah segera melakukan pengecekan, memberikan teguran tegas, dan membina usaha tersebut agar patuh terhadap aturan lingkungan hidup.
“Lingkungan kami dulu bersih dan tidak bau. Sekarang setiap hari harus mencium aroma limbah. Kami berharap segera ada tindakan,” ujar warga lainnya.
Kasus dugaan pencemaran lingkungan oleh UMKM Mak CW menjadi peringatan bahwa setiap bentuk usaha—kecil maupun besar—wajib mematuhi aturan agar tidak merugikan masyarakat sekitar. Pemerintah diminta tidak tutup mata dan memastikan keluhan warga ditindaklanjuti secara serius.
(Tim)













