Kota Depok, — Proyek rekonstruksi (pekerjaan lanjutan) Jalan Raya Cipayung, Kota Depok, senilai Rp3,8 miliar dari APBD 2025 kembali menuai sorotan publik. Pekerjaan yang digarap oleh PT Istana Imadah Mora dengan pengawasan konsultan PT Metrik Arsiplan Indonesia ini dinilai tidak memenuhi standar teknis sebagaimana mestinya.
Ketua Asosiasi Wartawan Nasional (AWAN), Andre Tambunan, S.E, menegaskan pentingnya fungsi konsultan supervisi. “Konsultan tidak boleh hanya hadir secara administratif. Ada tanggung jawab hukum yang jelas. Jika pengawasan lemah, maka umur jalan bisa singkat. Hal ini sudah diatur dalam Permen PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang menekankan peran konsultan dalam menjaga mutu pekerjaan konstruksi,” ujarnya.
Sementara itu, aktivis hukum dan lingkungan, Hotman Samosir, S.H., D.Com, yang juga founder PILAR, soroti temuan indikasi penggunaan material yang tidak sesuai standar, seperti adanya puing bangunan dalam urugan. “Kalau benar ada limbah konstruksi yang dipendam, itu melanggar standar teknis dan merugikan kualitas jalan. Pemerintah daerah dan konsultan wajib menegakkan aturan. Kalau dibiarkan, masyarakatlah yang jadi korban,” tegasnya.
Hotman mengingatkan, sesuai Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (perubahan melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2023), khususnya Pasal 59, setiap penyelenggara wajib memenuhi aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. “Jika ada kelalaian, sanksi administratif hingga pencabutan izin bisa dijatuhkan. Regulasi sudah jelas, tinggal bagaimana Dinas PUPR menegakkannya,” katanya.
Andre menambahkan bahwa proyek ini menyangkut uang rakyat. “Dana Rp3,8 miliar itu berasal dari APBD. Masyarakat berhak atas hasil yang berkualitas dan tahan lama. Kalau pengawasan dari Dinas PUPR dan konsultan lemah, maka ini bentuk kelalaian yang serius,” tuturnya.
Pantauan aktivis di lapangan menunjukkan adanya material bekas bangunan yang diturunkan ke lokasi proyek sebelum dilakukan pengurugan. Padahal, menurut SNI 03-2834-2000 tentang Campuran Agregat untuk Perkerasan Jalan dan acuan dalam Permen PUPR No. 8 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan Perkiraan Biaya Pekerjaan Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, material urugan wajib memenuhi standar teknis agar jalan tidak cepat rusak.
Aktivis Hotman juga menyoroti aspek pengawasan internal dan eksternal. “Kementerian PUPR/provinsi, BPJN, DPRD Kota Depok, dan lembaga pengawas eksternal lainnya, punya kewajiban melakukan audit jika ada dugaan pelanggaran teknis. Ini bagian dari fungsi kontrol agar tidak terjadi kerugian keuangan negara,” jelasnya.
Selain aspek teknis, dampak lingkungan juga relevan diperhatikan. Sesuai PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap proyek wajib memperhatikan penggunaan material. “Kalau ada material limbah konstruksi yang tidak sesuai standar dimasukkan, itu bisa merusak drainase dan daya tahan jalan,” ujar aktivis Hotman.
Andre pun mengingatkan, lemahnya pengawasan bisa membuka celah hukum. “Jika menimbulkan kerugian negara, maka BPK bisa turun untuk audit investigatif, bahkan penegak hukum bisa masuk. Jangan sampai proyek ini masuk daftar hitam pembangunan bermasalah di Depok,” katanya.
Aktivis Hotman menambahkan bahwa proyek infrastruktur seharusnya menjadi bukti keberpihakan negara pada rakyat. “Setiap meter jalan harus memberi manfaat jangka panjang. Kalau dikerjakan asal-asalan, maka jalan hanya bertahan hitungan bulan, bukan puluhan tahun,” tandasnya.
Masyarakat berharap Pemkot Depok segera mengevaluasi proyek ini secara menyeluruh. Bila terbukti kualitasnya buruk sejak awal, perbaikan berikutnya hanya akan menambah beban APBD.
Di akhir keterangannya, Andre Tambunan dan aktivis Hotman Samosir mewanti-wanti Pemkot Depok. “Jangan main-main dengan uang rakyat. Aturan teknis konstruksi tidak bisa ditawar-tawar. Kalau tidak, ini pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan undang-undang,” tegasnya.
Masyarakat Kota Depok kini menunggu langkah nyata dari Pemerintah Kota Depok, Dinas PUPR, Inspektorat, hingga lembaga pengawas eksternal. Tanpa pengawasan ketat, proyek Rp3,8 miliar ini bisa menjadi cermin buruk tata kelola pembangunan di Kota Depok. (Red)