Example 728x250
Berita

Pelarangan Misa Natal WSY Kota Depok Inkonstitusional, Presiden Prabowo Ditantang Turun Tangan

3
×

Pelarangan Misa Natal WSY Kota Depok Inkonstitusional, Presiden Prabowo Ditantang Turun Tangan

Sebarkan artikel ini

Depok, | Tindakan represif terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) kembali menista marwah demokrasi dan konstitusi Indonesia. Kali ini, peristiwa tersebut terjadi di Kota Depok, Jawa Barat, menyusul pembatalan Misa Natal 2025 di Wisma Sahabat Yesus (WSY), Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji.

Keputusan pembatalan itu diambil melalui musyawarah antara pihak kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan, serta pengelola WSY pada Selasa (23/12/2025). Diduga dalih yang dikemukakan adalah menjaga kondusivitas lingkungan dan menunggu proses perizinan kegiatan ibadah.

Namun, dalih tersebut justru menuai kecaman luas karena dinilai mengorbankan hak konstitusional warga negara demi rasa aman semu yang lahir dari tekanan kelompok tertentu.

Aktivis dan founder Pergerakan Indonesia untuk Keadilan dan Aspirasi Rakyat (PILAR), Hotman Samosir, S.H., D.Com., menantang keras pemerintah dan menyebutnya sebagai bentuk nyata kegagalan Pemerintah Kota Depok dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah.

Menurut aktivis Hotman, peristiwa ini menunjukkan bahwa negara melalui pemerintah daerah telah gagal total (Gatot) dan abai terhadap mandat konstitusi yang secara tegas telah menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya.

Aktivis internasional ini menilai tindakan barbar dan primitif atas pembatalan Misa Natal WSY Kota Depok melanggar Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah tanpa syarat.

Selain itu, kebijakan tersebut bertentangan dengan TAP MPR Nomor X/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Aktivis Hotman menegaskan bahwa dalam Kovenan ICCPR, hak untuk beribadah, baik sendiri maupun bersama-sama, di ruang publik atau tertutup, merupakan hak fundamental yang tidak boleh ditawar-tawar secara sewenang-wenang oleh kelompok tertentu.

“Bahwa dalih menjaga keamanan itu alasan prematur dan nonsense. Yang terjadi justru negara membiarkan hak warganya dirampas,” tutur aktivis Hotman Samosir ketika dimintai keterangannya, Kamis (25/12).

Sejurus kemudian, Ia juga mempertanyakan legitimasi “kesepakatan” yang dijadikan dasar pembatalan ibadah Misa Natal WSY Kota Depok tersebut.

“Bahwa tatkala kesepakatan itu lahir dari timbangan yang timpang, itu namanya bukan kesepakatan, tapi ini pemaksaan. Kesepakatan itu hanya sah secara moral dan hukum jika relasinya setara,” ungkapnya.

Menurut aktivis Hotman, dalam negara hukum, pelaksanaan ibadah tidak boleh bergantung pada kesepakatan sosial, apalagi persetujuan serampangan mayoritas.

“Bahwa merayakan hari besar agama bukan hak yang dinegosiasikan. Itu hak konstitusional. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada tekanan kelompok tertentu dan massa,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa jika praktik semacam ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden berbahaya dan berpotensi menyebar ke daerah-daerah lain.

“Bahwa Pemerintah justru ikut melanggengkan pelarangan ibadah. Ini sangat berbahaya bagi masa depan kesatuan dan persatuan bangsa,” tutur aktivis Hotman.

Lebih lanjut, aktivis ini menolak keras logika sesat mayoritas-minoritas dalam urusan kebebasan beragama.

“Kami ingatkan berulang kali. Bahwa Negara ini bukan milik satu golongan. Ini negara hukum, bukan negara mayoritas. Semua warga harus diperlakukan sama tanpa diskriminasi,” tuturnya lagi.

Aktivis Hotman menegaskan bahwa pembatasan ibadah merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (6) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Kemudian, Ia juga mengutip Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, tanpa pengecualian.

“Bahwa hak ini bersifat fundamental dan non-derogable right dalam keadaan apapun. Sudah seharusnya pemerintah hadir melindungi dan memfasilitasi warga negara dalam merayakan hari raya besar agamanya, bukan justru menjadi bagian dari masalah,” tegasnya lagi.

Lebih jauh, aktivis Hotman Samosir mendorong Presiden Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Wali Kota Depok Supian Suri serta jajaran aparat keamanan untuk mengambil langkah tegas dan konkret dalam menjamin kebebasan beribadah dan mendirikan tempat ibadah bagi semua agama dan kepercayaan.

Aktivis ini juga meminta Kapolri, Kapolda Jawa Barat dan Polres Metro Depok memastikan keamanan perayaan ibadah dan hari besar keagamaan tanpa diskriminasi apa pun.

“Kami bertanya, tolong dijawab dengan cinta, Indonesia itu rechtsstaat atau machtstaat? Kami mendesak pemerintah dan aparat tidak boleh lagi kalah dengan tekanan massa dan kelompok tertentu, tetapi harus menegakkan supremasi hukum dan konstitusi secara adil,” pungkas aktivis Hotman Samosir.

Ihwal pembatalan Misa Natal di Wisma Sahabat Yesus (WSY) Kota Depok, Jawa Barat, menjadi alarm berulang bahwa perjuangan menegakkan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia belum selesai, negara dan aparat tidak boleh terus-menerus plonga-plongo ketika hak warganya dirampas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *