Pekanbaru
Oleh: Dr. Dedek Gunawan, S.H., M.H.
Praktisi dan Akademisi Hukum
Kesadaran dan ketaatan hukum bukan sekadar konsep ideal, melainkan kebutuhan nyata yang menentukan stabilitas dan keberlanjutan bangsa. Dalam pengalaman saya sebagai praktisi hukum, saya menyaksikan setiap hari bagaimana hukum bekerja—menjaga ketertiban, menyelesaikan sengketa, dan melindungi hak-hak masyarakat. Namun, saya juga melihat bahwa tanpa kesadaran hukum di masyarakat, penegakan hukum akan selalu berjalan tertatih-tatih.
Hukum Sebagai Pengawal Kehidupan Sosial
Hukum hadir untuk mengatur keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan umum. Ia melindungi yang lemah dari penindasan, memberikan kepastian bagi pelaku usaha, serta menjadi pedoman perilaku warga negara. Namun, sebaik apa pun aturan dibuat, hukum akan kehilangan daya jika hanya dipandang sebagai ancaman sanksi, bukan pedoman moral.
Ketaatan hukum yang lahir dari rasa takut hanya bersifat sementara. Sebaliknya, ketaatan yang lahir dari kesadaran akan membentuk stabilitas jangka panjang dan memperkuat sendi-sendi keadilan.
Lawrence M. Friedman, pakar sosiologi hukum, menegaskan bahwa efektivitas hukum ditentukan oleh tiga unsur:
1. Structure of the Law – Struktur hukum, yakni lembaga dan aparat penegak hukum yang menjalankan aturan.
2. Substance of the Law – Substansi hukum, yakni norma dan asas yang mengatur perilaku masyarakat.
3. Legal Culture – Budaya hukum, yakni sikap, kesadaran, dan nilai-nilai masyarakat terhadap hukum.
Indonesia relatif telah memiliki struktur dan substansi hukum yang memadai. Tantangan terbesar justru ada pada dimensi budaya hukum. Tanpa budaya hukum yang kuat—yaitu kesadaran kolektif untuk mematuhi hukum karena keyakinan—aturan hanya akan menjadi teks tanpa daya.
Realitas di Lapangan
Dalam praktik, banyak sengketa hukum yang sebetulnya dapat dicegah jika ada kesadaran hukum sejak awal. Pelanggaran lalu lintas, penyalahgunaan jabatan, hingga korupsi adalah contoh nyata lemahnya budaya hukum. Penegakan hukum pun cenderung bersifat reaktif, bergerak setelah pelanggaran terjadi, bukan preventif.
Di sinilah pentingnya pendidikan hukum yang merata, penegakan hukum yang adil, dan keteladanan dari para pemimpin. Masyarakat akan lebih mudah percaya dan taat hukum jika melihat hukum ditegakkan secara konsisten tanpa pandang bulu.
Peran Praktisi Hukum
Praktisi hukum tidak hanya berperan di ruang sidang, tetapi juga sebagai agen edukasi hukum. Penyuluhan, tulisan opini, dan keterlibatan dalam diskusi publik adalah cara untuk membangun kesadaran hukum. Di sisi lain, integritas dan profesionalisme praktisi akan menjadi teladan yang menginspirasi masyarakat untuk menghormati hukum.
Catatan Kritis untuk Indonesia
Mengacu pada Friedman, membangun budaya hukum adalah pekerjaan jangka panjang yang memerlukan komitmen berlapis: konsistensi aparat, keberanian politik, reformasi pendidikan hukum, dan keteladanan moral pemimpin. Tanpa itu semua, hukum akan terus dipersepsikan sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai penuntun keadilan.
Penutup
Keberhasilan hukum tidak hanya diukur dari kelengkapan aturan atau kekuatan aparat, tetapi dari sejauh mana masyarakat menjadikan hukum sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Sebagai praktisi hukum, saya percaya bahwa tugas kita bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat terhadap hukum.
Hukum yang dihormati akan bertahan lebih lama daripada hukum yang sekadar ditakuti. Karena itu, membangun budaya hukum bukan pilihan, melainkan keharusan demi Indonesia yang adil, tertib, dan bermartabat.
⸻
Tentang Penulis:
Dr. Dedek Gunawan, S.H., M.H. adalah praktisi dan akademisi hukum yang aktif memberikan pendampingan dan penyuluhan hukum di masyarakat.