INHIL – Dugaan praktik penyediaan jasa perempuan bispak (wanita panggilan) di Hotel Grand Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), mencuat ke publik. Informasi yang dihimpun menyebutkan, manajemen hotel diduga melakukan pembiaran atas aktivitas tersebut, yang jelas bertentangan dengan aturan kepariwisataan dan standar operasional perhotelan.
Seorang sumber internal berinisial Ro mengungkapkan, tamu hotel dapat dengan mudah mengakses jasa perempuan melalui aplikasi tertentu bahkan melalui karyawan hotel.
“Dugaan lainnya, pihak hotel mengetahui dan membiarkan praktik itu berlangsung, baik siang maupun malam,” ujarnya.
Seorang aktivis pemerhati kebijakan publik di Inhil menilai, jika benar ada pembiaran, maka hal tersebut jelas menyalahi aturan.
“Hotel bukan tempat untuk menyediakan jasa seperti itu. Manajemen bisa dikenakan sanksi tegas,” katanya, Sabtu (16/8).
Apabila terbukti, dugaan praktik ini melanggar sejumlah regulasi, di antaranya:
1. UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Pasal 26 huruf (c): usaha pariwisata wajib menjaga norma agama, budaya, moral, dan nilai-nilai masyarakat.
Pasal 54 ayat (1): pelaku usaha pariwisata yang melanggar dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.
2. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Perempuan yang disediakan tanpa status kerja jelas berpotensi masuk kategori eksploitasi tenaga kerja.
3. Permenparekraf No. 18 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Hotel
Pengelola hotel wajib menjamin keamanan, kenyamanan, serta tidak menyalahgunakan fasilitas untuk kegiatan yang melanggar hukum.
Aktivis hukum Andang Yudiantoro, SH, MH, yang juga Ketua PWI Inhil, mendesak pemerintah daerah, Satpol PP, dan aparat penegak hukum segera melakukan investigasi.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi juga merusak moral masyarakat Inhil. Harus ada tindakan tegas, jangan sampai dibiarkan,” tegasnya.
Saat dikonfirmasi wartawan, Manajer Hotel Grand, Johan, menolak memberikan keterangan. “Saya keberatan dikonfirmasi, karena wartawan tidak ada hak konfirmasi kecuali dia korban,” katanya singkat saat di ruangan tamu hotel, Sabtu (16/8/2025) sekitar pukul 10.30 WIB.
Pernyataan tersebut dinilai bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang menjamin hak setiap orang, termasuk wartawan, untuk memperoleh informasi dari badan publik maupun pihak terkait.
Kasus ini menambah sorotan publik terhadap lemahnya pengawasan sektor perhotelan di Tembilahan. Aparat diminta segera menindaklanjuti agar praktik serupa tidak mencoreng wajah pariwisata daerah.