Rokan Hilir – Sejumlah dugaan penyimpangan keuangan di tubuh PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (PT SPRH), salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, kini menjadi sorotan publik. Masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum segera mengambil langkah konkret untuk mengusut berbagai indikasi yang dinilai merugikan keuangan perusahaan dan daerah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, berikut ini adalah sejumlah poin indikasi dugaan penyimpangan yang mencuat ke publik:
Penyaluran Dana CSR Rp19,5 Miliar untuk Rumah Ibadah. Diduga terjadi ketidakwajaran dalam penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) senilai Rp19,5 miliar yang dialokasikan untuk bantuan rumah ibadah. Penyaluran dana CSR seharusnya dilakukan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pembelian SPBU di Bangko Senilai Rp10 Miliar. Transaksi pembelian Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah Bangko tercatat senilai Rp10 miliar. Namun, di lapangan terindikasi hanya dibayarkan sebesar Rp5,5 miliar. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, karena memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
Pembelian Tanah untuk Company Yard Senilai Rp14,4 Miliar. Diduga terjadi pembengkakan anggaran dalam pembelian lahan untuk keperluan company yard dengan nilai mencapai Rp14,4 miliar, tanpa justifikasi harga yang transparan dan akuntabel.
Pengadaan Kebun Fiktif Senilai Rp46,2 Miliar. Salah satu indikasi terbesar adalah pengadaan kebun fiktif senilai Rp46,2 miliar. Jika terbukti, perbuatan ini termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi dan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.
Penyertaan Modal Rp20 Miliar untuk Anak Perusahaan. PT SPRH diketahui menyuntikkan modal kerja sebesar Rp20 miliar kepada anak perusahaan yang ikut serta dalam tender proyek di bawah pengawasan SKK Migas. Namun, hingga kini penggunaan dana tersebut belum dilaporkan secara terbuka dan akuntabel kepada publik.
Pinjaman Fiktif oleh Anak Perusahaan Senilai Rp13 Miliar. Diduga terjadi pemberian pinjaman fiktif oleh anak perusahaan PT SPRH yang berbasis di Pekanbaru, dengan nilai mencapai Rp13 miliar. Jika tidak didukung oleh dokumen pendukung dan aktivitas bisnis yang nyata, perbuatan ini berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Tipikor.
Pengeluaran Operasional Kantor yang Tidak Wajar. Biaya operasional kantor yang dinilai tidak wajar, seperti pengadaan seragam, pembayaran gaji, dan perjalanan dinas, turut menjadi sorotan karena terkesan sebagai bentuk pemborosan anggaran.
Masyarakat berharap aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan Tinggi Riau maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat segera menindaklanjuti temuan ini secara terbuka dan profesional. Penanganan kasus ini diharapkan tidak berhenti pada aktor pelaksana di lapangan, namun juga mampu mengungkap siapa pihak yang diduga menjadi aktor utama di balik seluruh rangkaian dugaan penyimpangan ini. Publik meyakini, setiap skandal korupsi yang sistematis hampir selalu melibatkan pengambil keputusan tingkat atas yang memiliki kuasa dan kendali atas kebijakan serta aliran dana.
Jika terbukti terdapat unsur tindak pidana korupsi, para pelaku dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyertaan dalam tindak pidana. Pasal 64 KUHP apabila perbuatan dilakukan secara berulang.