GARUDASAKTI ID – JAKARTA – Raksasa teknologi dunia mulai menyasar Asia Tenggara untuk berinvestasi. Tingkat pertumbuhan PDB agregat untuk kawasan ini diperkirakan sebesar 4% hingga tahun 2040.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara industri, yang umumnya berkisar antara 1% hingga 2%. Hal tersebut menunjukkan potensi signifikan untuk pengembangan lebih lanjut, utamanya di sektor ekonomi digital.
Indonesia menjadi salah satu negara Asia Tenggara yang kian masif menggenjot sektor teknologi dalam beberapa tahun terakhir. Presiden Jokowi memiliki cita-cita ‘Indonesia Emas 2045.
Beberapa bulan terakhir, Indonesia juga kedatangan tamu bos-bos raksasa teknologi yang mengumumkan investasi di Indonesia. Mereka adalah CEO Microsoft Satya Nadella, CEO Apple Tim Cook, dan yang terbaru CEO SpaceX Elon Musk yang datang mengumumkan peresmian internet berbasis Starlink di Indonesia.
Dalam setiap kunjungan para bos-bos teknologi dunia tersebut, pemerintah Jokowi meminta adanya komitmen investasi di Indonesia. Meski angka investasi tersebut mengalir ke Tanah Air, tetapi tak sebesar di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Padahal, Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, dengan pasar layanan teknologi yang signifikan.
Google Pilih Investasi di Malaysia
Baru-baru ini, Google mengumumkan investasi sebesar US$2 miliar (Rp 32 triliun) di Malaysia. Investasi tersebut akan digunakan untuk membangun pusat data dan wilayah cloud pertama di negara tersebut, seiring dengan meningkatnya permintaan kecerdasan buatan (AI) dan layanan cloud regional.
“Investasi ini dibangun berdasarkan kemitraan kami dengan Pemerintah Malaysia untuk memajukan ‘Kebijakan Cloud First’, termasuk standar keamanan siber terbaik di kelasnya,” kata Presiden, CFO, dan CIO Google Ruth Porat, dikutip dari CNBC Internasional, Jumat (31/5/2024).
Porat menambahkan bahwa investasi tersebut akan menjadi yang terbesar yang pernah dilakukan Google di Malaysia selama 13 tahun beroperasi di sana.
Pusat data ini akan mendukung layanan digital untuk konsumen Google, seperti Search, Maps, dan Workspace. Sementara Cloud akan menyediakan layanan kepada perusahaan dan organisasi di sektor publik dan swasta.
Google juga meluncurkan dua program literasi AI di negara tetangga RI tersebut untuk pelajar dan pendidik.
Investasi dan program diharapkan memberikan kontribusi lebih dari us$3,2 miliar terhadap PDB Malaysia dan mendukung 26.500 lapangan kerja pada 2030.
Cloud regional Malaysia adalah tambahan dalam jaringan Google yang mencakup 40 wilayah dan 121 zona di dunia.
Ini terjadi setelah perusahaan raksasa teknologi lainnya, Microsoft, mengatakan akan investasi sebesar US$2,2 miliar di Malaysia untuk memajukan infrastruktur cloud dan AI. Mereka juga mengumumkan investasi di Indonesia dan Thailand tahun ini.
Raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft telah menjanjikan miliaran dolar ke Asia Tenggara untuk memanfaatkan meningkatnya permintaan layanan AI dan komputasi awan.
Booming AI telah meningkatkan permintaan layanan cloud serta pusat data, karena diperlukan kapasitas data yang besar untuk melatih model AI dan cloud untuk menyediakan akses ke kumpulan data.
Pusat data adalah fasilitas yang berisi server yang diperlukan untuk menyimpan data dan menjalankan aplikasi atau layanan.
“Investasi Google sebesar US$2 miliar di Malaysia akan secara signifikan memajukan ambisi digital yang diuraikan dalam Rencana Induk Industri Baru 2030,” kata Senator YB Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Aziz, Menteri Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia.
Ia menambahkan bahwa investasi Google akan memungkinkan industri manufaktur berbasis jasa dapat memanfaatkan AI dan teknologi canggih lainnya sehingga dapat meningkatkan rantai pasokan global.
Alasan Raksasa Teknologi Pilih Investasi di Tetangga
Di Malaysia, Microsoft juga menambah investasi sebesar US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 35,57 triliun. Sedangkan di Indonesia hanya mencapai US$ 1,7 miliar.
Mengenai hal ini, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mengatakan, investasi itu tergantung dari level adopsi AI di suatu negara. Ia menilai di negara tetangga mungkin adopsinya sudah lebih intens sementara di Indonesia baru masuk tahap awal atau early stage.
“Tergantung dari level adopsi AI di industrinya, mungkin kalau di tempat lain di negara tetangga kita, adopsinya lebih intens dan kita baru early stage ini,” kata Nezat saat ditemui di acara Accelerating Responsible Al Governance and Innovation with Copilot for Indonesia di Jakarta, beberapa saat lalu.
Nezar menilai, investasi Microsoft ini menjadi salah satu dukungan transfer of knowledge atau transfer pengetahuan dari raksasa teknologi dunia itu ke Indonesia. Khususnya di bidang infrastruktur kecerdasan buatan (AI) dan cloud atau komputasi awan.
“Serta upscaling AI untuk 840 ribu peserta dan dukungan untuk 10 ribu developer kita, itu dukungan yang luar biasa,” kata Nezar.
Sementara itu, investasi Apple di Vietnam juga lebih besar dari Indonesia. Total investasi Apple di Vietnam mencapai US$ 15,84 miliar atau sekitar Rp 256,5 triliun sejak 2019 atau jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia Rp 1,6 triliun.
Melihat fenomena ini, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, wajar kalau Vietnam diberi investasi yang lebih banyak. Karena negara tersebut memiliki kualitas kinerja logistik, dan kualitas pekerja yang jauh lebih tinggi.
“Ya kita nggak bisa mengharapkan Apple berinvestasi manufaktur ke Indonesia sebenarnya, karena dari sisi itu sudah kalah,” kata Huda ditemui dalam kesempatan yang sama.
Vietnam itu bisa memproduksi sekitar 30% secara mandiri dari 320 komponen Apple, dan Indonesia hanya 4 dari komponen tersebut.
Jadi memang kalau soal investasi Apple, Indonesia kalah dari segala hal dibandingkan Vietnam, termasuk kita kalah dalam hal penyediaan penyediaan lahan.
“Di Vietnam karena sosialis, semua milik negara, jadi permainan mafia-mafia di sana. Tapi kalau di Indonesia, mau bangun produk di A, sudah pasti ada mafia yang bermain di sana. Akhirnya memang di sana letak biayanya cukup mahal,” jelas Huda.
Sementar itu di Malaysia ekositemnya sudah jauh lebih lengkap, di sana ada Silicon Malaysia. Kedua, dari level inovasi index juga kalah jauh. Ada beberapa komponen yang menyebutkan kalau Malaysia lebih siap, seperti HAKI dan sebagainya.
“Kita kan ada bukit-bukit yang nggak jadi-jadi itu kan, jadi dari segi ekosistem itu sudah kelihatan Malaysia lebih siap dibandingkan kita,” kata dia.
“Kalau di Indonesia, sudah HAKI-nya lama, tanahnya mahal,” ia menuturkan.