Jakarta — Badan Eksekutif Mahasiswa Kristiani Seluruh Indonesia (BEM KSI) menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 17 November 2025, untuk mendesak pencopotan Hakim MK Arsul Sani akibat dugaan penggunaan ijazah tidak sah yang mencoreng kredibilitas lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Dalam orasinya, Koordinator Pusat BEM KSI Charles Gilbert menyatakan bahwa dugaan penggunaan ijazah tidak sah oleh Arsul Sani bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi ancaman serius terhadap integritas akademik, moralitas pejabat negara, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kasus ini mencuat setelah diketahui bahwa gelar doktor ilmu hukum yang digunakan Arsul Sani diperoleh dari Collegium Humanum – Warsaw Management University, Polandia, sebuah institusi yang saat ini sedang diselidiki otoritas Polandia atas dugaan praktik jual-beli gelar akademik. Temuan ini memunculkan pertanyaan fundamental terkait keabsahan gelar yang menjadi dasar pengangkatan Arsul Sani sebagai Hakim MK berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf c UU No. 7 Tahun 2020, yang mengharuskan calon hakim MK memiliki gelar doktor dalam bidang hukum.
BEM KSI menilai bahwa situasi ini adalah krisis integritas konstitusional, mengingat hakim MK berkewajiban menjunjung standar moral, akademik, dan etika tertinggi dalam menjalankan tugas yudisial. Penggunaan gelar yang diragukan keabsahannya adalah pelanggaran serius yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan konstitusional.
Persoalan ini, menurut BEM KSI, mencerminkan tiga masalah mendesak yang harus segera dibereskan negara:
1. Kemungkinan cacat hukum pengangkatan hakim MK apabila gelar diperoleh melalui mekanisme tidak sah.
2. Potensi tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 263 KUHP terkait pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu.
3. Ancaman terhadap kredibilitas Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga supremasi hukum.
Melalui aksi demonstrasi ini, BEM KSI menyampaikan tujuh tuntutan tegas kepada Pemerintah Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan Aparat Penegak Hukum:
1. Menuntut Mahkamah Konstitusi RI segera menonaktifkan Arsul Sani dari seluruh tugas dan kewenangannya selama proses penyelidikan berlangsung.
2. Mendesak Majelis Kehormatan MK menggelar sidang etik terbuka dan independen untuk memeriksa keabsahan ijazah yang bersangkutan.
3. Meminta Kemendikbudristek melakukan audit dan verifikasi resmi terhadap ijazah luar negeri Arsul Sani dengan berkoordinasi bersama otoritas pendidikan Polandia.
4. Mendorong Kementerian Luar Negeri dan KBRI Polandia melakukan klarifikasi diplomatik mengenai status hukum Collegium Humanum.
5. Menuntut Polri dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan pidana atas dugaan pemalsuan dokumen dan penipuan administratif sesuai Pasal 263 KUHP.
6. Meminta Presiden dan DPR RI mengevaluasi proses pengangkatan Arsul Sani dan memberhentikannya secara tidak hormat apabila terbukti bersalah.
7. Menuntut transparansi penuh atas seluruh hasil audit, verifikasi, sidang etik, dan proses hukum secara terbuka kepada publik.
Dalam penutup aksinya, Charles Gilbert menegaskan:
“Diam terhadap krisis integritas adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Mahkamah Konstitusi harus bersih dan berwibawa. Tidak boleh ada satu pun hakimnya yang berdiri di atas gelar yang diragukan keabsahannya.”













