Pekanbaru, 31 Mei 2025 – Dugaan kepemilikan aset tak wajar oleh Wahyudi, pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang kini bertugas di Kanwil DJP Banten, terus mengundang kemarahan publik. Setelah jejak rumah mewah, kost eksklusif Barakuda House, hingga pembangunan ruko senyap yang tidak tercermin dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kini masyarakat secara terbuka menuntut Kementerian Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertindak tegas.
Investigasi terbaru media menunjukkan bahwa total kekayaan Wahyudi diduga telah melampaui Rp 200 miliar, angka yang sangat janggal untuk ukuran pejabat ASN eselon menengah. Sementara itu, dalam LHKPN 2024, Wahyudi hanya mencatatkan kenaikan harta sebesar Rp 76 juta dibanding tahun sebelumnya—kenaikan yang dinilai sangat tidak masuk akal mengingat aktivitas pembangunan properti besar-besaran yang dilakukannya pada tahun yang sama.
Tak hanya tinggal di rumah mewah ber-CCTV di tiap sudut, Wahyudi juga diketahui mengelola rumah kost eksklusif dengan tarif Rp 3,5 juta per kamar. Di saat yang sama, enam unit ruko mewah kini tengah dibangun di kawasan dengan nilai NJOP tinggi. Sumber menyebut proyek-proyek tersebut dijalankan melalui nama pihak keluarga, diduga untuk menghindari pelaporan harta secara langsung.
Bahkan, Wahyudi dikabarkan turut membiayai pembangunan rumah mewah adik kandungnya yang baru diangkat menjadi ASN di sektor kesehatan. Fakta ini memicu pertanyaan besar: dari mana sumber dana sesungguhnya?
Seorang sumber dari masyarakat yang tak ingin disebutkan namanya mengaku heran melihat gaya hidup Wahyudi. “Di lingkungan kami, semua tahu dia bukan orang sembarangan. Tapi, angka di LHKPN-nya tidak pernah mencerminkan realita di lapangan,” ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, akademisi, hingga tokoh masyarakat menyerukan agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak tinggal diam. Mereka meminta Inspektorat Jenderal Kemenkeu segera melakukan audit internal mendalam dan menyerahkan temuan ke KPK.
“Ini bukan hanya soal Wahyudi, ini soal wajah Kementerian Keuangan. Kalau dibiarkan, seluruh ASN yang bekerja jujur akan ikut tercoreng,” tegas TK Koordinator Koalisi Masyarakat.
Tak hanya itu, publik juga mendorong agar KPK membuka penyelidikan terhadap kemungkinan pelanggaran pidana, mulai dari gratifikasi, penyamaran aset, hingga tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apalagi, berdasarkan Undang-Undang ASN dan Peraturan KPK tentang LHKPN, setiap ketidaksesuaian antara profil kekayaan dan penghasilan wajib ditelusuri secara menyeluruh.
Hingga kini, belum ada satu pun keterangan resmi dari pihak DJP maupun Kementerian Keuangan. Sikap diam ini justru memicu kecurigaan dan semakin menguatkan persepsi bahwa ada upaya melindungi oknum dari jerat hukum.(tim)