TEMBILAHAN – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tembilahan kini tengah disorot tajam. Lembaga yang seharusnya menjadi tempat pembinaan justru diduga kuat menjadi ladang maladministrasi, kekacauan pelayanan, hingga potensi praktik pungutan liar (pungli). Kesaksian dari sejumlah keluarga warga binaan mengungkap bobroknya sistem pelayanan di balik jeruji besi tersebut.
“Kita merasa seperti dipermainkan. Aturannya tidak jelas, informasinya simpang siur, dan semua hanya berdasarkan kata petugas. Tak ada papan pengumuman, tak ada selebaran, semuanya hanya ‘katanya-katanya’. Kami datang sesuai waktu, tapi tetap ditolak dengan alasan yang berubah-ubah,” ujar seorang warga, yang enggan disebutkan namanya, dengan nada kecewa.
Pengakuan tersebut bukan isapan jempol. Media ini menerima banyak aduan bahwa pengunjung harus menebak-nebak hari kunjungan, jenis kasus, hingga jumlah orang yang diperbolehkan masuk. Bahkan lebih parah, ada dugaan pengkondisian antrian dan perlakuan khusus terhadap pihak tertentu. Hal ini menguatkan indikasi bahwa pelayanan tidak hanya tidak transparan, namun juga diskriminatif dan membuka celah pungli.
Pelayanan Omon-Omon, Bukan Berdasarkan Hukum
Dugaan ini diperkuat dengan investigasi langsung ke lapangan. Tak ditemukan satu pun SOP resmi yang dipampang jelas di area kunjungan. Ketika petugas ditanya tentang dasar aturan pembagian hari kunjungan berdasarkan jenis kasus, mereka hanya menjawab dengan alasan lisan tanpa bukti tertulis.
“Katanya untuk kasus narkoba boleh hari Rabu, yang lain hari Kamis. Tapi di mana tertulis itu? Kami tidak melihat ada aturan resmi,” keluh pengunjung lainnya. Akibat ketidakjelasan ini, banyak keluarga warga binaan kecewa, merasa terintimidasi, bahkan ada yang memilih pulang tanpa bisa menjenguk sanak saudaranya.
Lebih parah, ketika diminta nomor kontak pejabat terkait seperti KPLP guna klarifikasi, petugas bernama Arief Yunanda hanya berjanji akan menyampaikan, namun hingga kini tak ada tindak lanjut. Ini memperkuat dugaan adanya budaya pembiaran dan penghindaran akuntabilitas di tubuh Lapas Tembilahan.
Tantangan Terbuka untuk Ditjenpas: Turun atau Tutup Mata?
Apa yang terjadi di Lapas Kelas IIA Tembilahan menjadi tamparan keras bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas). Di tengah program reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang gencar digaungkan pemerintah, Lapas Tembilahan justru diduga menjadi titik lemah yang sarat praktik lama: tidak transparan, semaunya, dan minim kontrol.
Maklumat pelayanan yang terpampang di depan kantor Lapas seolah hanya tempelan tanpa arti. Dalam papan tersebut tertulis komitmen ASN Lapas untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai SOP, namun di lapangan, kenyataannya jauh panggang dari api.
Masyarakat kini menuntut: jangan hanya ASN kecil yang dikorbankan. Siapa pun yang terlibat dalam pembiaran ini—baik yang memerintahkan, membiarkan, maupun mengambil keuntungan dari kekacauan SOP—harus diperiksa dan ditindak!
Jika Ditjenpas dan Kemenkumham tidak segera turun tangan dan melakukan evaluasi menyeluruh, maka wibawa institusi pemasyarakatan akan hancur di mata publik. Apakah Lapas Tembilahan masih tempat pembinaan, atau telah berubah menjadi ladang pungli dan kekuasaan tak bertuan?
Publik menanti, bukan janji. Tapi bukti dan tindakan nyata.(tim)