GARUDASAKTI.ID – Pekanbaru, 4 Desember 2024 – Fitriadi, S.Pd., Sekretaris Lurah Tuah Karya sekaligus Bendahara Pelaksana Pemungutan Suara di Kelurahan Tuah Karya, diduga menunda bahkan menggelapkan honor petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pilkada Kota Pekanbaru dan Pilkada Gubernur Riau 2024.
Hingga hari ini, diduga 19 petugas KPPS belum menerima honor dan uang makan mereka dengan total mencapai Rp63.925.000. Salah seorang petugas KPPS yang enggan disebutkan namanya menyampaikan kepada media, “Ketika kami meminta hak kami, Seklur sekaligus Bendahara KPPS selalu beralasan dana belum cair dan terus menunda pembayaran.”
Keterangan ini bertentangan dengan pernyataan Lurah Tuah Karya Nanda Eddyan Harsono S. STP, yang memastikan bahwa dana sebesar Rp553.000.000 telah diserahkan oleh KPU kepada Kelurahan Tuah Karya secara tunai pada 26 November 2024. Dana tersebut diterima langsung oleh Fitriadi, S.Pd., sebagai Bendahara KPPS.
Penundaan ini menimbulkan dugaan serius terhadap Fitriadi, termasuk:
1. Indikasi Penggelapan Dana Publik
Dengan total dana yang belum dibayarkan mencapai puluhan juta rupiah, tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP.
2. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Sebagai Bendahara KPPS, Fitriadi telah mengabaikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme, yang menjadi landasan etika penyelenggara pemilu.
3. Pelanggaran Administrasi Pemilu
Berdasarkan peraturan KPU, dana yang diterima wajib disalurkan tepat waktu untuk mendukung kelancaran pemilu. Penundaan ini merupakan pelanggaran serius terhadap tata kelola administrasi.
4. Pelanggaran Hak Petugas Pemilu
Honor KPPS adalah hak yang wajib diberikan tanpa alasan. Penundaan ini melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Pelanggaran UU Pemilu
Tindakan ini melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa dana penyelenggaraan pemilu harus dikelola secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika terbukti, Fitriadi dapat dikenai sanksi administratif, termasuk pencopotan dari jabatan, hingga sanksi pidana dengan ancaman penjara sesuai Pasal 372 KUHP. Tindakannya juga dapat mencederai kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pilkada yang seharusnya jujur dan transparan.
Masyarakat mendesak Panwaslu dan aparat penegak hukum segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini. Keterlambatan atau ketidakseriusan dalam penanganan hanya akan memperparah keresahan dan mencoreng integritas Pilkada 2024. Petugas KPPS yang menjadi korban juga mendesak hak mereka segera dipulihkan tanpa penundaan.